Friday, October 5, 2007

Menilisik (Kembali) Teologi Sunni[1]
[Sebuah Pengantar]
Oleh Faiq Ihsan Anshori[2]


“Laysa al-Anbiya min Rijâl ilm al-Kalâm”
Ignaz Goldziher



Prolog
TIDAK ada yang menafikan bahwa konsep dasar ilmu kalam (teologi dialektikal) berangkat dari postulat Pengesaan Tuhan yang terafirmasi-kan dari kalimat sakti lâ ilâh illa Allah. Hal ini telah menjadi kredo konsensus para pemeluk agama monoteisme sejak dahulu kala, mulai dari Kristen, Yahudi, hingga agama pamungkas, Islam. Dalam agama Kristen dan Yahudi umpamanya, tidak akan ditemui perdebatan teologi yang panjang dan melelahkan sepanjang yang terjadi dalam agama Islam. Sebab secara simplisit kedua agama itu menerima dengan lapang dada tentang keesaan sesembahannya tanpa bermuluk-muluk memperdebatkan esensi Tuhan beserta sifat-sifatnya. Akan lain halnya dalam Islam. Secara embrional sejak awal sudah ada bibit-bibit perdebatan seputar kontroversi teologis dari mulai membahasa wujud hingga tetek-bengeknya. Artinya reaksi ortodoks saja sudah sangat kompleks dan beragam. Apalagi jika dilempar jauh ke masa depannya hingga kini. Bagian terpelik dari kontroversi ini adalah metodologi yang mengupas tentang puspa ragam sifat Tuhan. Tak pelak, akibat keaneragaman dalam tafsir Tuhan ini melimpah sekte-sekte dalam Islam. Masing-masing menjustifikasi kebenarannya dengan seperangkat ayat yang bisa menjadi tameng dari setiap argumen teologisnya.

Untuk membahas itu, saya tidak akan masuk tenggelam bermain-main dan berkeliling wisata pada setiap situs Islam. Hanya akan membatasi serta memusatkan diri pada situs yang erat kaitanya dengan kredo ahlu sunnah wal jamaah; teologi Asy’arian dan Maturidian. Paling tidak, dari disinilah titik rotasi yang paling signifikan untuk mengetahui atau sekedar meraba-raba kedalaman arkeologi inti akidah sunni, utamanya ketika bersinggungan sosio-kultur yang membentuk pemikiran itu serta reaksi-reaksi yang melingkupinya dalam relung sejarah teologi. Namun demikian, tentu saya tidak akan mengupas dalam setiap diskursus dan wacana yang berkembang pada setiap fase sejarah teologi sunni. Cukuplah pada bagian-bagian elan vital teologi sunni.


Geneologis Teologi Asy’ari
BANYAK kalangan yang masih memperdebatkan pengertian dari teologi Islam secara standar proporsional. Dalam kasus studi tentang terminologi teologis, kalangan ortodoks malah tidak memisahkan diskursus teologi ini menjadi sebuah ilmu yang independen. Sumber literatur yang paling banyak disebut oleh sejarah adalah terma yang pertama kali digunakan dan dimunculkan oleh Imam Abu Hanifah, salah satu imam mujtahid ahlu suunah wal jamaah, dalam kitab al-Fiqh Akbar sekitar dua H. Jadi penerapan terma teologi masih menggunakan sesuatu yang sederhana dan bentukan kesinoniman ‘fiqh’ atau ‘paham’ antara terma teologis dan yurisprudensi Islam. Hanya saja oleh pengikutnya ada upaya dikotomisasi. Makna teologi dispesifikan dengan sisipan ‘akbar’ dibelakangnya (baca: al-Fiqh Akbar) sementara makna yurisprudensi mengunakan al-fiqh an sich.[3] Bahkan hujatul Islam, Ghazali dalam pembukaan karya magnum opusnya, Ihya Ulumuddin, secara tegas mengatakan bahwa terma teologis sudah ada jauh-jauh hari sejak Nabi mengumandangkan sabda “kefarduan menuntut ‘ilmu’ bagi setiap muslim”, sebagaimana yang diyakini oleh mutakalimin lainnya. Sebab ilmu yang paling mendasar bagi setiap pemeluk monoteisme adalah mempelajari Tuhannya pertama kali agar bisa mengenal lebih dekat siapa Tuhannya beserta sifat-sifatnya.[4] Barulah setelah itu mempelajari syariah. Yang menarik adalah terminologi yang ditawarkan sosok filosof-teolog Al-Farabi. Ia membagi pada teologi (kategori) positif dan teologi (kategori) negatif. Topik pertama melibatkan pada konsepsi seputar penetapan keesaan Tuhan berikut sifat-sifat-Nya yang didukung oleh postulat-postulat teks dan nalar. Topik kedua adalah mengenyahkan hal-ihwal yang berseberangan dengan bangunan teologi positif.[5] Ini ternyata diamini pula oleh Ghazali dan Ibnu Khaldun yang termasuk di barisan terdepan pengikut mazhab Asy’ari.

Jika ditelisik ke belakang dalam sumber primer otoritatif Islam baik al-Qur’an maupun Hadits, sejatinya, secara geneologis, tidak ada diskursus khusus yang membahas atau menganjurkan pembentukan ilmu kalam sebagaimana yang dipelajari secara mendalam oleh kaum mutakalimin era Islam selanjutnya. Terma esensi (dzât) atau sifat, misalnya, yang biasa menjadi objek kontroversi teologis Mu’tazilah, Asy’ariah, maturidiah, dan sekte lainnya adalah sesuatu yang tabu dibicarakan pada era Islam awal. Ini bisa terlihat dalam kasus Malik bin Anas ketika ada ajuan pertanyaan yang berkaitan dengan hakikat sifat Tuhan; bagaimana Tuhan bertahta di atas singgasana atau arys. Ia sama sekali tidak berani menjawab dengan jelas. Hanya berapologi bahwa kebertahtaan Tuhan di atas singgasana telah maklum, sedangkan bagaimana bentuknya adalah hal tabu yang tidak bisa dijangkau, namun mempercayainya adalah wajib, dan menanyainya adalah perbuatan bid’ah.[6] Ini secara implisit sebetulnya sudah dianggap mewakili sifat-sifat Tuhan lainnya, seperti kalam, rahman, rahim, sam’ie, dan lainnya, bahwa menanyakan hal tersebut adalah etika yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim. Dari sini sebetulnya benih-benih pemicu kontroversi teologis bermula.
Dengan tendensi inilah para tradisionalis dan para ahli hadits atau kelompok Hasyawiah menolak keras untuk berkecimpung membahas persoalan teologis ini. Sebab, argumen mereka, bahwa Nabi tidak pernah membahas atau membuka peluang terhadap diskursus ini. Seandainya diperbolehkan tentu, secara logika, Nabi akan membahasanya karena posisinya sebagai Sang Pembawa Risalah dan Penjelas Segala (al-Mubîn), tentu tidak akan menelantarkan umatnya dalam kebingungan. Dengan demikian, coba-coba menyelah jalan ini adalah perbuatan bid’ah dan dianggap menyimpang dari perbuatan ulama salaf awal. Mereka mengecam bentuk metodologi apapun untuk tujuan tersebut.

Dalam konteks mazhab Asy’ari, Abu Hasan al-Asy’ari, imamnya mazhab asy’arian, menyaggah interpretasi yang dilakukan oleh para ahli hadits itu. Malah ia membalikan pretensi mereka, bahwa demikian itu dianggap sebagi perbuatan bid’ah. Sebab membiarkannya terlantar dalam kegamangan nalar. Lebih-lebih tidak ada dasar dari sumber Nabi sendiri secara langsung yang menyatakan larangan. Ia, sekalipun berhipotesa sama pada sosok Nabi sebagai objek tendensi hukum, namun lebih mengarahkan pada satu konklusi bahwa Nabi sebagai sosok mandararis Tuhan pasti lebih mengatahui persoalan-persoalan seputar ilmu kalam secara mendetail. Nabi lebih tahu dari apa yang biasa diperdebatkan oleh kaum mutakalimin tentang makna gerak (harakah), diam (sukûn), sifat bendawi (ardh), jasmani, atau bahkan sangat paham dengan hakikat dan sifat Tuhan sendiri berdasarkan pengalamannya. Hanya saja tidak termaktubkan dalam al-Qur’an dan Hadits secara mendetail. Karena demikian, justru hal ini adalah sebuah indikasi positif yang seakan menjadi tugas wajib para mutakalimin untuk membuka kidung ilahi itu. Yakni tak lain melalui mediasi ilmu kalam.[7] Dalam hal ini Asy’ari menyatakan bahwa postulat terkuat yang menjadi pretensi akbar keharusan menggeluti teologi adalah kewajiban bagi hamba muslim untuk mengetahui secara lebih dekat penciptanya, lewat pengenalan hakikat sifat-sifatnya. Jadi, untuk mencapainya harus mengenal premis-premis yang mendukung tujuan tersebut. Pertama, Deduksi (istidlâl) dengan mengafirmasi ayat-ayat yang berhubungan dengan Tuhan. Kedua, Analogi (qiyâs) terhadap penampakan mahkluk (qiyas al-ghaib bi syahid).[8]

Dalam literatur-literatur kuno disebut, bahwa asal-usul ilmu kalam dimunculkan ‘secara resmi’ oleh Jahm bin Shafwan. Istilah jahmiyah digunakan bagi mereka yang menganut terhadap faham Jahm. Tujuannya adalah untuk membersihkan dari syak wasangka terhadap keserupaan (tasybîh) Allah yang dilekatkan oleh Hisyam bin Hakim dan para penganutnya. Yang apologetik, dua faham berlawanan ini muncul ke permukaan karena masing-masing menemukan justifikasi dalam ayat-ayat alegoris al-Qur’an yang menyifati Allah dengan tastbih, di kubu satu, dan Tanzih, di kubu lain (sebagaimana perebutan ayat alegoris lainnya terjadi pula pada tradisi keilmuan Islam lainnya). Pandangan kontroversial Jahm adalah teologi yang mengarah pada teologi negatif ekstrim (salbiyah). Allah tidak layak diatributi dengan sifat apapun karenanya harus menafikan segala sifat yang dilekatkan pada-Nya. Sebab jika ada penetapan sifat demikian, niscaya Tuhan tidak jauh berbeda dengan mahkluknya, sama-sama memiliki sifat. Tak ayal ia menolak sifat hidup, maha mengetahui, maha kuasa, dan sifat serupa mahkluk lainnya.[9] Berdiri dibarisan terdepan penentangan interpretasi ayat-ayat alegoris adalah Ibnu Hanbal. Ia termasuk yang paling keras mengecam faham jahmiyah. Sebab jelas dianggap pengingkaran sifat-sifat Tuhan. Bahkan secara khusus mengarang sebuah buku berjudul al-râdd ‘ala Jahmiyah wa al-Zanadiqah, sebagai bentuk reaksi langsung terhadap faham ini. Dan pemahaman ortodoks ini dituruti oleh Ibnu Taymiyah sebagai salah satu ikon besar tokoh penganut teologi positif (tasybîh-ijâbiyah) yang dalam sejarah menjadi teolog terakhir ortodok –sekaligus juga penanda babak penutup pintu teologi masa silam– hingga akhirnya menjadi teologi resmi bagi mazhab wahabisme.[10]

Namun akar geneologis ini, jika merujuk pandangan Husein Muruwah dalam karya monumentalnya, al-Naz’ah al-Madiyah fi Filsaftah al-Arabiyah al-Islamiyah, terbagi menjadi dua kubu yang berseberangan. Pertama, bermuara sosio-politik. Kedua, bermuara pedagogik-natural.[11] Yang pertama dimulai terjadi pasca arbitrasi atau tahkim dalam perang shifin masa khilafah Ali bin Abu Thalib. Fitnah ini menimbulkan kegemparan yang luar biasa terhadap dunia Islam. Sebab dari sini mulai bermunculan argumen-argumen politis yang kemudian berkembang dan ditarik-tarik menuju kubangan arena teologis mengenai sifat-sifat Tuhan yang digagas pertam kali oleh Wasil bin Atha’.[12] Bahkan lebih jauh dari itu, sampai merambat permasalahan muamalah dan lainnya. Sehingga timbulah mazhab-mazhab Islam yang tidak lagi berkepentingan politis namun mengusung teologis, macam Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah.[13] Yang kedua, terbagi dalam dua fase besar pada kira-kira sepanjang enam kurun. Yakni fase Mu’tazilah dan fase Asy’ariah. Tanpa bermaksud menafikan dan menepikan sekte lainnya yang hidup ditengah belantara kurun itu seprti Khawarij, Syi’ah, Murjiah, dan lainnya, namun karena dua kutub ini yang kentara pergumulan dan perdebatan tiada habis sepanjang sejarah, maka inilah yang mewakili generalisasi besar dikitomis tersebut.[14]

Terma kalam dan mutakalimin pun, akhirnya menjadi sebuah diskursus khusus yang menunjukan pada mereka yang bergelut dan berkutat-kutat dalam ayat-ayat alegoris yang melulu membahas ragam jenis sifat dan hakikat Tuhan. Terma ini mendapat momentum puncaknya manakala mazhab asy’arian tampil dipermukaan yang dibawa oleh punggawa al-Baqilani, sang Asy’ari kedua, Juwayni, Ghazali, al-Ijie, dan terakhir, al-Razi, hingga kemudian menjadi primadona Islam. Bahkan dalam konteks Sunni an sich, seakan mazhab ini adalah mazhab yang paling benar dan terma ilmu kalam hanya distreotifkan pada kebenaran mazhabnya. Seakan-akan tidak melihat keberadaan mazhab luar, seperti Mu’tazilah dan lainnya. Sebab tidak ada kontrubusi segnifikan terhadap perkembangan ilmu kalam Islam. Hal ini bisa terlihat jelas, umpamanya terhadap definisi yang ditawarkan Ghazali dalam kitab al-munqîd min al-dhalâl :

... bahwa tujuan sebenarnya (ilmu kalam) itu adalah menjaga akidah ahlu sunnah wa al-jama’ah serta membentenginya dari serangan ahli bid’ah. ... lantas (tiba-tiba) syetan menjatuhkan syak wasangka pada kaum bid’ah hal ihwal yang bertentangan dengan ahlu sunnah. Akibatnya, berkecamuklah syak wasangka itu dan hampir-hampir merongrong akidah ahli sunnah. Karenanya, Allah memunculkan para kaum mutakalimin dan menggeliatkannya demi menolong ahli sunnah itu dengan cara mendedahkan ta’bir yang menyelimuti dari kegamangan yang dibuat-buat oleh para ahli bid’ah. Nah, dari sinilah kemudian timbul ilmu kalam.[15]

Jika ditarik konklusi dari ujaran Ghazali ini, maka nampaklah bahwa menurut Ghazali sejarah ilmu kalam dimulai bertepatan munculnya imam raksasa al-Asy’ari, ketika memploklamirkan diri mazhabnya, Asy’arian, sebagai mazhab oposan Mu’tazilah.[16] Tampaknya ghazali ingin melihat ilmu kalam di dunia Islam secara monilitik; golongan hitam dan golongan putih an sich. Dengan demikian, ia berhasrat besar menghapus sejarah tradisi ilmu kalam dalam tradisi Islam secara prontal. Pendapat Ghazali ini diamini pula oleh Ibnu Khaldun sembari mempertegas bahwa maksud para ahli bid’ah itu adalah para pembelot ahli salaf dan ahli sunnah, macam faham Musybihah, Mujsimah, Mu’tazilah, dan Syi’ah Imamiyah.[17]

Ini tentu bertentangan dengan hipotesa bersumberkan literatur lain, yang menganggap bahwa ilmu ini justru mulai dilirik ketika ada upaya penerjemahan besar-besaran filsafat Yunani ke Dunia Islam selama pemerintahan Abasiyyah pada pertengahan kurun delapan H. yakni masa khilafah al-Makmun yang mendukung secara terang-terangan faham Mu’tazilah menjadi teologi resmi negara.[18] Tak ayal, akibat penerjemahan ini menjadi pemicu utama yang merasuki rasionalitas Mu’tazilah. Hal ini bukan menjadi suatu yang aneh, sebab sejak awal-awal kemunculannya langsung mendaku usungan penggunaan akal sebagai piranti dasar teologinya, di mana sebelumnya kedudukan akal terbelenggu tidak diberikan kebebasan secara penuh dalam tradisi Islam awal. Ini bisa terlihat, umpannya ketika mendekati penafsiran al-Qur’an tidak ada tradisi penafsiran menggunakan akal (tafsir al-ra’y) sebab penggunaan akal tidak diperbolehkan, dianggap tabu tidak sesuai dengan tradisi tafsir tranmisional (tafsir al-ma’tsur) sebagai (anggapan) tafsir paling otoritatif langsung dari Nabi. Jadi wajar jika pemasungan ini merembet juga pada ranah teologi sebab konsumsi utama adalah bersumberkan justifikasi dari al-Qur’an. Hingga, seiring waktu, munculah sekte Mu’tazilah ini. Jadi pantasalah jika Mu’tazilah adalah sekte/mazhab pemikiran yang pertama kali secara resmi dalam sejarah Islam mengusung hak-hak akal dan mampu membebaskan dari pretensi ortodoks tersebut.[19]

Nah, dengan adanya penerjemahan filsafat itu yang notabenenya induk akal, para teolognya berupaya memadukan diskursus (teologi) keagamaan dengan rancang bangun perangkat logika filsafat secara sistematis. Dari elaborasi ini, maka mashurlah displin teologi menjadi terma yang akrab disebut ilmu kalam dan mutakalimin, bagi para penggelutnya.[20]



Ontologi Teologi Sunni
SETIAP pemikiran atau mazhab, apapun bentuknya, akan bisa bertahan dan dapat dianggap sebagai bangunan pemikiran yang kokoh, jika sudah mampu meletakan tiang bangunan metodologi yang kuat bersyarat. Sebab tanpanya niscaya rapuh. Hal demikian berlaku pula pada mazhab asy’arian di mana Asy’air, Sang Pendiri mazhab itu, memaklumat dasar-dasar epistem mazhabnya sebagai basis pendorong gerakan pemikiran mazhabnya. Konon, sebelum betul-betul yakin membangun mazhabnya, ia menemui kepayahan-kepayahan yang menghinggapi pikirannya. Sering kali ia mengutarakan pada gurunya, al-Jubai, seorang pembesar Mu’tazilah namun tidak mendapatkan kepuasan apa-apa. Nihil jawaban. Yang pasti, hal ini bukan berangkat dari keluguannya selama mengikuti Mu’tazilah, mazhab pertamanya. Justru karena telah merasa mencapai kulminasi pengetahuan Mu’tazilah selama empat puluh tahun lamanya. Betapa, simbol perjalanan panjangnya menjadi pertimbangan logika tersendiri untuk mengontemplasikan ulang semua produk pengetahuan teologi Mu’tazilah. Dan hasilnya adalah semakin membuatnya tidak nyaman dan kebingungan setengah mati. Suatu malam, setelah sembahyang dua raka’at dan berdoa meminta hidayah pada-Nya, ia tidur dan bermimpi dengan baginda Rasul. Kemudian ia berkeluh dengan kegamangan teologinya. Nabi pun akhirnya memberi petunjuk untuk kembali pada cita-cita Sunnah dan al-Qur’an, sembari menbuang jauh hal-ihwal yang tidak bersuaian dengan kedua sumber itu.[21] Ini terjadi dalam pertapaanya selama lima belas hari, mengucilkan diri dari khalayak ramai. Nah, setelah mendapatkan hidayah itu, ia pergi ke masjid agung dan berbicara di atas mimbar untuk menyatakan keluar dari Mu’tazilah dan memaklumatkan mazhab barunya.

Dalam persepsi ilmiah, kasus mimpi sebetulnya tidak bisa dijadikan argumen kuat. Mimpi tidak lebih ditempatkan sebagai mitos ketimbang dalil ilmiah. Sebab tidak berdasarkan kekuatan nalar argumentatif. Apa lagi ini menyangkut dengan keyakinan teologi sebuah agama. Tentu sangat riskan. Namun demikian, jika ditelisik melalui optic psikologis, hal ini bisa dijadikan sebuah pretensi ilmiah, paling tidak sebagai penguat. Sebab secara psikologis, manakala seorang mengalami kebingungan dan labilitas kejiwaan, terkadang dalil logika tidak lagi menjadi ampuh untuk penyembuhan. Justru dalam keadaan kritis demikian, butuh terapi jiwa atau ruhani, terlebih berurusanan dengan keyakinan yang letaknya bermuara di hati. Karenanya mimpi menjadi terapi mujarab penyembuhan jiwa bagi pasien Asy’ari; sebagai anugerah hidayah pembuka kegelapan hati. Ini persis dengan apa yang dialami sosok Ghazali yang dalam hidupnya pernah mengalami kebimbangan dan kekeringan spritualitas di mana akhirnya tiba-tiba ilham mimpi membangunkan kesadarannya dan secara drastis merubah jalan hidupnya pada dunia sufi. Hingga lahirlah karya monumental, Ihya Ulummuddin.

Dalam pembentukan rancang bangun mentodologinya, asy’ari begitu terpengaruh dengan mazhab (fiqih) syafi’i. Ini tentu erat kaitan antar kedua dispilin ilmu tersebut sebab sama-sama bertitik temu dalam ranah penafsiran al-qur’an. Apalagi jika dilihat secara leksikal keduanya masih bersaudara (fiqh dan fiqh akbar). Kemungkinan ini pula pemicu utama latar belakang kepindah mazhabnya. Sosok Syafi’i yang sukses memadukan antara nalar akal dan nalar hadits dalam karakter mazhabnya diakui membuat As’yari terpesona. Sehingga berpengaruh besar terhadap pembentukan teologinya.[22] Ia, sepertinya, tidak begitu mengindahkan dengan mazhab fiqih lainnya. Maliki, umpanya, telah dinilai cacat oleh As’yari sebab ‘telah kebablasan’ menggunakan dalil maslahat mursalah. Sebab dianggap telah melenceng jauh dari teks-teks qur’anik. Begitu juga dengan Hanafi yang ‘dianggap gagal’ tidak mampu menafsirkan secara baik antar wilayah makro (juziyât) dan mikro (tafsiliyât) agama tanpa menjaga aturan kaidah dan usulnya ketika menempatkan dalih Isthsan-nya. Karenanya ia lebih tertarik cenderung mengambil fiqih Syafi’i dalam pengembangan riset mazhab teologinya. Sebab syafi’i, menurutnya, telah sukses menuai pemaduan kaidah universal dan partikular dengan basis padu akal dan naql.[23] Ia setuju dengan statemen Syafi’i, bahwa penggunan istinbath dengan tidak berlandaskan al-Qur’an-Hadits dan perangkat senyawanya dianggap telah mambuat ‘agama baru’. Ini terlihat dengan kehati-hatian Syafi’i dalam upaya memaksimalkan pengunaaan daya kekuatan analogi sebagai mesin produk ijtihadnya. Tak heran jika corak fiqihnya kelihatan fleksibel. Bahkan tak jarang hasil produktifitas ijtihadnya sama persis dengan Hanafi atau Maliki dalam beberapa kasus (seperti, salah satunya, kasus diperbolehkan membunuh tawanan muslim yang dijadikan tameng tentara kafir). Ini tentu karena kecakapan Syafi’i mengunakan senjata analogi.

Namun demikian, bukan berarti Asy’ari tidak menghargai atau mencemooh mazhab fiqih Sunni lainnya, sebagaimana ia tampakan kecemoohan dan kebenciannya pada mazhab Mu’tazilah. Etikanya untuk memperlakukan penghormatan yang sama pada mazhab empat sunni adalah sesuatu yang patut dihargai. Hanya saja, ia menghargai secara fanatis terhadap mazhab Syafi’i sebab memiliki kepentingan kuat terhadap pembangunan proyek teologinya. Wajar jika ditempatakan secara istimewa dibanding lainnya. Penghormatannya yang wajar dan turut serta dalam afiliasi salah satu pada mazhab sunni, maka sangat beralasan jika kemudian muncul reaksi balik yang positif dari kalangan mazhab sunni. Pada perkembangannya, teologi Asy’ari malah dijadikan ideologi resmi semua mazhab fiqih sunni. Bahkan, lucunya, beberapa mazhab fiqih, seperti Maliki dan Hanafi, mengklaim bahwa Asy’ari berafiliasi pada mazhabnya, sebab kebanyakan karangan As’yari sudah biasa dikaji oleh pengikut sunni.[24]

Dalam sejarah sunni, mazhab ini dikenal ‘memeluk’ dua mazhab teologi. Pertama Asy’ari, sebagaimana telah maklum di atas. Kedua, mazhab Maturidi. Namun pertanyaanya adalah kenapa dalam panggung sejarah sunni hanya Asy’ari yang menghegemoni, sementara Maturidi tidak banyak diperbincangkan bahkan dilirik oleh kaum sunni. Apakah ini erat kaitannya dengan adaguim bahwa ‘keyakinan tidak bisa mendua, sebab andai mendua, petanda terkena syak wasangaka’. Lain halnya dalam ranah fiqh ketika ia mampu berpararel pada beberapa mazhab dalam satu diskursus. Sebab fiqih adalah ijtihad wilayah prediktif. Makanya, ada sikap toleransi untuk mampu mengakomodir beberapa pendapat dalam satu deskripsi masalah. Ini, secara tinjauan epistemologis, barangkali ada benarnya sekalipun masih bisa dikritik atau dikaji ulang. Ada juga beberapa faktor tertentu yang menyebabkan terhambatnya laju ketidak-seiring seirama-an dua teologi ini. Faktor itu diantaranya, masing-masing memiliki pengikut sendiri. Sebagaimana telah dijabarkan di atas, Asy’ari termasuk pengikut setia Syafi’i dan ini menjadi suatu hubungan timbal-balik di mana kemudian pengikut mazhab Syafi’i pun mengikuti dan memeluk teologi Asy’arie. Tampaknya, dialektis-simbiosis ini terlaku pula pada teologi maturidi, yang dikenal sebagai pengikut setia mazhab Hanafi.[25] Ini barang kali tidak lepas dari karakter dan ciri khas dua mazhab fiqih ini yang punya kecenderungan sendiri. Syafi’i agak skriptualis dan Hanafi agak rasionalis. Wajar jika dalam sejarahnya, tepatnya pada kurun tiga H. mazhab Hanafi lebih memihak dan mendukung teologi Mu’tazilah sebab ada persenyawaan sistem keduanya. Hanya saja, akibat hegemoni Asy’ari, yang sejak awal memang benar-benar bermaksud menumbangkan mazhab Mu’tazilah dan ini terbukti berpengaruh hebat pada kewibawaan mazhab Mu’tazilah di arus bawah dengan timbulnya kebencian mendalam dari kaum sunni dan pengikisan kepercayaan pada pengikut Mu’tazilah, maka memasuki kurun empat H. para pengikut Hanafi yang semula Mu’tazilah berganti teologi Maturidi.[26] Pilihan ini tentu bukan tanpa alasan sebab ada trauma pribadi yang diarahkan pada eks Mu’tazilah oleh Asy’arian. Karenanya lebih memilih Maturidi dibanding Asy’ari. Di samping itu adanya penghargaan akal secara proporsional dalam tradisi Maturidi menjadi pertimbangan yang menguntungkan secara metodologis.

Kesadaran transformasi pengetahuan menuju pencerahan membuat umat Islam mulai merubah paradigma pola pikir. Jika pada abad tiga H. lebih pada dominasi pengetahuan Mu’tazilah yang menjungjung tinggi kebebasan akal secara ekstrim (rasionalisme akal di atas wahyu dan teks keagamaan). Maka pada abad empat H. euforia akal ini mulai meyusut dan beranjak menempatkannya pada posisi balance antara teks dan akal.[27] Ini terbukti dengan berbondong-bondongnya umat Islam hijrah menuju teologi sunni yang membetot perhatian dan kesadaran berteologi. Kendati diakui karena transformasi pengetahuan ini, di satu sisi, mengakibatkan pengereman, jika tidak dikatakan mandul, pada kegiatan intelektualitas Islam. Tidak lagi sebagaimana yang pernah terjadi pada kurun sebelumnya yang mengalami puncak rasionalisasi hampir pada semua bidang pengetahuan dan kebudayaan akibat efek rasionalitas Mu’tazilah ini.

Nah, arus transformasi ini mempengaruhi pula terhadap perkembangan pembaharuan teologi yang hampir dikatakan senyawa dalam diskursus ilmu kalam. Seperti teolog Abu Mansur al-Maturidi di kawasan Timur dan Tengah Arabia, tepatnya daerah Samarkand dan sekitarnya atau Abu Ja’far al-Thahawi di Mesir.[28] Kedua mazhab ini memiliki kesamaan persis dengan Asy’ari. Perbedaan yang mencolok adalah pada penempatan porsi pada rasionalitas. Asy’ari tidak begitu bebas menggunakan peran akal sementara Maturidi kebalikannya; nalar akal nampak berperan dalam pembentukan teologis. Yakni satu tingkat dibawah Mu’tazilah.[29] Wajar saja jika banyak pengikutnya yang rasionalis. Sayangnya, sejarah sepertinya tidak begitu memperhitungkan kedigjayaan mazhab Maturidi, khususnya dalam panggung sejarah sunni sendiri hingga saat ini sekalipun. Tentu, ini merupakan pertanyaan besar yang masih relevan untuk saat ini, barangkali. Sebab dalam kitab sejarah teologi hanya sedikit yang menyingung dan mengulas mazhab Maturidi. Syahrastani misalnya, dalam kitab al-milal wa nihal tidak menyebut data atau fakta satu pun keberadaan eksistensi mazhab Maturidi. Idealnya, sebagai seorang sejarahwan mestinya bersikap obyektif , apalagi sebagai penganut sunni-Asy’ari yang gigih. Beberapa faktor penyebabnya adalah kemungkinan tidak ada penerus/pengikut Maturidi yang cerdas-aktif dalam mengembangkan reproduksi teologinya. Ini terbukti tidak ada kitab yang dianggap fenomenal dan komprehensif sebagaimana yang pernah ditorehkan penggagasnya, Maturidi dengan magnum opusnya, Kitab al-Tauhid. Faktor lainnya kemungkinan kurang produktifnya Maturidi dalam menelorkan kitab-kitab teologi sunni. Hanya ada satu pengikutnya yang dianggap mapan dan mewarisi metodologi Maturidi yakni Abu Mu’in al-Nasafi melalui Tabshirah ‘Adillah fi Ushûluddin.[30] Kitab ini dianggap buah representasi dari pemikiran epsitem Maturidi yang paling brilian. Berisi-kan komparasi antar teologi Asy’arie, dan Mu’tazilah, kemudian menyangkalnya jika tidak sesuai dengan ijtihadnya. Al-nasafi sepertinya memiliki konsistensi dan prinsip tersendiri dalam meracik mazhab Maturidi. Hingga kadang dalam beberapa hal tidak setuju dengan imamnya sendiri. Atau kadang–kadang secara mengejutkan setuju pada kandungan nilai yang tidak jauh berbeda dengan pendapat Mu’tazilah. Tentu ini suatu pemandangan kontras sebab jika dibandingkan mazhab asy’arian, maka hampir keseluruhan bertolak belakang dengan pendapat Mu’tazilah.[31]


Sekedar menyebutkan, bahwa perbedaan antara Asy’ari dan Maturidi hanya berkisar sepuluh diskursus, sebagai riset peneliti salaf (qudama’). Perbedaan itu diantaranya dalam diskursus sifat Tuhan tiga mazhab teologi, yakni Asy’ari, Maturidi, dan Mu’tazilah sepakat bahwa sifat-Nya adalah sifat yang terdahulu (Qadim). Bedanya, masing-masing memiliki penafsiran sendiri. Mu’tazilah menyatakan pembaruan sifat-sifat pekerjaan (Hudûts Shifah al-Fi’l), seperti kalâm (ujaran), dan iradâh (kehendak). Asy’ariah pun menyatakan demikian, hanya saja dipandang sebatas sifat qudrah-Nya (kekuasaan) beserta perangkat penghubungnya (taaluqât). Sementara Maturidi sama sekali berbeda, di mana memposisikan semua sifat (tujuh) adalah qadim (terdahulu). Dan bersandaran bahwa sebuah proses kejadian (sifah al-takwin) bukan didorong oleh sifat qudrah Tuhan, sebagaimana keyakinan Asy’ari atas ini. Namun lebih didasarkan oleh pengaruh mutualisme (atsar) dari Sang Pencipta (al-mukawwin). Karenanya, bagaimanapun mesti diatributi dengan sifat terdahulu. Jika tidak, berarti Tuhan dikenai sifat-sifat baru (hawadits) dan jelas hal ini mustahil sebab sifat baru hanya pantas dialamatkan pada mahkluk bukan Sang Khalik. Sementara itu dalam penafsiran sifat kalam, maka pada terma asy’aian akan dikenal sifat kalam nafsi dan kalam lafdhi (ujaran dalam dan ujaran luar), yang tidak akan diketemukan dalam terma maturidi demikian itu.[32] Dalam diskursus tindak-perbuatan manusia (af’âl al-ibâd) pun ada perbedaan. Maturidi menempati posisi tengah jika dibanding Asy’ari maupun Muktazilhah, yakni adanya kekuasaan insan mendahului laku pekerjaanya. Karenanya, bebas untuk melakukan atau meninggalkan pekerjaan. Di sini unsur keterpengaruhan dan pembekasan pada pekerjaan sangat menentukan dalam membentuk sebuah tindakan. Hanya saja dikontrol dan tak lepas dari Sang Kuasa. Gagasan yang paling kontroversial adalah pemaknaan yang dilakukan Mu’tazilah ketika menyatakan bahwa semua perbuatan manusia adalah murni keluar dari manusia sendiri tanpa sedikitpun ada ‘intervensi’ atau kontrol dari Tuhan. Mereka meyakini bahwa Tuhan hanya sebatas menciptakan wujud mahkluk dan selebihnya adalah tangung jawab makhluk secara total. Sebab makhluk pada dasarnya sudah diberikan anugerah akal sebagai bekal memilah yang baik dan yang buruk, karenanya tidak perlu bantuan syara dalam hal pemilahan ini.[33]

Sementara asy’arian dalam hal ini memecah menjadi tiga pendapat. Pertama, sebagaimana yang diyakini imamnya, Asy’ari; menyatakan bahwa pekerjaan makhluk dibangun atas dua unsur berkelindan, yakni kekuasaan Sang Pencipta dan kekuasaan hamba sebagai anugerah dari Pencipta, yang dikenal dengan sebutan kasb (perantaraan pekerjaan). Kedua, sebagaimana yang diyakini oleh Juwayni, bahwa keterpangaruhan hamba menentukan perbuatannya dengan ‘bimbingan’ Sang Pencipta. Juwayni dalam hal ini lebih condong dengan apa yang dikatakan maturidian.[34] Ketiga, sebagaimana yang diyakini oleh al-Razi, yang menyatakan bahwa semua pekerjaan hanya dari pencipta an sich tanpa sedikitpun ada ‘intervensi’ hamba. Ia menyatakan sebagai ketundukan mutlak, sehingga cenderung mendekati faham fatalisme (jabariyah).[35] Ia menerapkan hierarki sebab-sebab (illât) sebagai pembantu pelaksana pekerjaan hamba, yang dikenal dengan kesatuan sistem regresi sebab-seban tak berhingga (tasalsul) antara Wajib al-Wujud (baca: Allah) dan tindakan manusia. Dengan demikian, Wajib al-Wujud adalah pusat segala aktivitas dan tindakan makhluk, di mana semua aktivitas itu berpulang dan bersumber dari-Nya.[36]

Dari analisa ini, tampaklah kecenderungan rasionalisitas Maturidi seakan menjadi ciri khas yang eksotik sebab ia mampu meletakan diri di antara dua kubu teologi yang obesitas atau kelebihan takaran antara yang rasional di atas wahyu (Mu’tazilah) dan skriptual-tekstual di atas akal (asy’arian). Contoh yang paling kelihatan penalaran ini adalah diskursus keimanan, ketika menyoal landasan dasar keimanan seorang hamba. Mu’tazilah menyatakan bahwa itu atas kesadaran akal. Sementara Asy’ari kebalikannya; yakni berlandasan syara’. Maksudnya, sebagai perintah langsung dari Tuhan. Dan Maturidi mengelaborasi keduanya; bahwa sekalipun iman itu merupakan perintah dari syara, namun, bagaimana pun, ia akan mampu dijangkau oleh kesadaran akal sebagai alat mencapai keimanan.[37]


***

Dengan demikian, perbedaan diskursus adalah suatu kelaziman yang terjadi sepanjang sejarah teologi. Sebab pada dasarnya bahwa keberbedaan itu adalah sebuah bentuk ‘kewajiban’ dalam teologi. Di mana masing-masing akan mendaku kebenaran dengan versinya sendiri-sendiri dan, dengan sendirinya, akan menyerang para lawan yang tidak sepaham. Anehnya, fenomena ini adalah sesuatu yang esensial sebagai pra syarat pengokohan bangunan teologi itu sendiri. Sebagaimana penalaran al-Jabiri :

... bagaimana tidak, bahwa urgensitas ilmu kalam yang paling mendasar adalah (kewajiban) menyerang para lawan. [38]

Jika ditelisik, maka tampaklah diskursus ilmu kalam hampir-hampir keseluruhan kembali atas nama; demi mencapai keyakinan dan relativitas kebenaran yang didaku oleh masing-masing teolog.

Wajar saja, berangkat dari hipotesa ini, jika musa bin maemun, yang di Barat lebih tenar dengan sebutan Maemonides, seorang filosof-teolog Yahudi, menganggap bahwa seluruh ilmu kalam (Islam) adalah produk nihil sebab berdasarkan nihilisme dan nalar prediktif. Sehingga, sekalipun produk itu berimpah-limpah, tetap saja tidak ada kesimpulan aksioma kebenaran yang dihasilkan dari ilmu kalam secara universal. Karenanya, ia membuat proyek dekontruksi ilmu kalam dengan simplikasi dan pembabatan besar-besaran pada bangunan ilmu kalam. Simplikasi ilmu kalam itu dibagi dua ketegori. Pertama, kalam fundamental (maqâshid). Kedua, kalam mediator (wasâil). Yang pertama bermuara pada tiga unsur fundamental sebagai sumber primer, di mana seluruh ilmu kalam akan berpondasi kepadanya, karenanya disebut sebagai nalar burhan (kebenaran aksiomatik). Tiga unsur itu adalah, pertama, penetapan eksistensi wujud Tuhan, kedua, keesaanya (wahdaniyah), dan ketiga, imaterial Tuhan atau penafian materi jasmani atas-Nya.[39] Semua para teolog agama samawi (smith) sepakat dan meyakini kedua point tentang keesaan Tuhan dan eksistensinya. Hanya point ketiga-lah yang jelas banyak dipolemikan oleh para teolog Islam, yakni sekte karamiyah dan pengembang teologi mutakhir, Ibnu Taymiyah, yang menyatakan bahwa Tuhan itu mempunyai jasmani. Untuk memperkuat postulat yang ketiga Maemonides menggunakan nalar-nalar premis para filosof dalam membangun ke-qidam-an alam, sekalipun ia tidak sepakat dengan hasil konklusi, adanya qidam alam itu.[40] Contoh yang paling kuat membantah antroposentrisme (jasmani) Tuhan barang kali bisa dilihat pada buku Asas al-Taqdis karya al-Razi, yang secara mendalam membahas tentang purifikasi sifat Tuhan dari sifat jasmani. Baik melalui postulat sam’iyah maupun aqliyah.[41]

Sedangkan yang kedua (kalam wasâil) adalah kesatuan sistem sifat-sifat Tuhan yang berfungsi sebagai dalil premis yang diperbantukan untuk padu mendukung dan menopang ketiga unsur fundamental agar kokoh dan tak terbantahkan. Ini tentu lain dengan pandangan para mutakalimin yang menyatakan bahwa sifat Tuhan itu adalah sesuatu yang ‘terpisah’ (ma’ani) dan tidak saling terkait dalam membentuk teologi ketuhanan. Kesatuan sistem pembantu itu keseluruhan berjumlah dua lima yang kesemuannya berbentuk premis-premis kecil (muqadimât) dan hanya sedikit menyangkutkan sifat-sifat mâ’ani. Itu pun jika ada kaitannya dalam menyusun kalam fundamental (maqâshid) itu. Ini tentu bukan suatu yang lazim sebagaimana yang lazim digunakan mutakalimin yang hampir bertebaran dalam teolog dengan warna berserakan tapi tidak untuk satu padu membangun teologi dasar.[42]

Secara kritis Maemonides mengecam para teolog Islam yang membebek dan tidak punya orisinalitas. Sebab ia menemukan fakta bahwa ilmu kalam bukan murni dari rahim Islam –sekalipun bertentangan dengan kebanyakan pemikir yang menyatakan ilmu kalm adalah murni berakar dari rahim Islam, Ali Mabruk misalnya. Jadinya, pengetahuan ilmu kalam pun tidak memuaskan, sebagaimana yang diyakini maemonides. Ia menganalisanya dengan pendekatan filologis bahwa secara geneologis ilmu kalam Islam itu merupakan pengetahuan impor dari Yunani yang ditransfer ke dunia Islam. Konon, hipotesa tersebut bersumber ketika Islam mengalami kedigjayaan pada masa pemerintahan Abasiyah, di mana saat itu tejadi proyek penerjemahan besar-besaran filsafat Yunani hingga akhirnya dimanfaatkan oleh kaum Mu’tazilah. Nah, untuk menangkisnya, kemudian terjadi pula arus penerjemahan kembali buku-buku yang meng-counter hegemoni filsafat kala itu. Tak ayal, timbulah akhirnya perdebatan skolastik antara para filosof dan mutakalimin yang mengemparkan dalam diskursus teologi Islam.[43]

Secara metodologis, ia menyalahkan metodologi para teolog di mana mereka tidak terlebih dahulu menetapkan diskursus wujud Tuhan (al-dzâhir min amr al-wujûd) dalam premis-presmisnya sebagai tapal pondasi membangun teolog yang benar. Malahan mereka terjebak dengan penetapan dalil-dalil (sifat) Tuhan terlebih dahulu yang, daripadanya, baru kemudian membangun suatu wujud yang pantas disematkan atas Tuhan. Karenanya, ketika telah sempuran membangun dalil-dalil ketuhanan baru memberikan kesimpulan akhir bahwa Tuhan itu berwujud; sebagaimana hasil diagnosa atas data-data sifat Tuhan yang diperoleh dalam pengembaraan nalar mereka.[44] Singkatnya, bukan wujud yang menempati posisi deduksi melainkan wujud itu adalah bentuk induksi dari penyaringan sifat-sifat yang layak (laysa al-wujûd tabi’ li al-arâ’, bal al-arâ’ al-shahîhah tabi’ li al-wujûd).[45]

Konsekuensinya, ia pun menyangsikan sekaligus menyerang telak tentang akumulasi nama sifat-sifat Tuhan (asmâ al-husna). Sebab hal itu berlandaskan akal prediktif yang tidak diproyeksikan untuk mendukung wujud keberadaan Tuhan. Yang lebih fatal, menurutnya, adanya akumulasi sifat itu dijadikan sebagai keyakinan final (taken for granted) satu petunjuk, bahwa Tuhan telah maha sempurna dengan persediaan sifat-sifat tersebut. Sebagaimana keyakinan asy’arian dan maturidian, umpanya, bahwa sifat Tuhan telah dianggap sempurna dengan keseluruhan jumlah yang sembilan puluh sembilan itu. Menurut maeimonides, justru penyifatan demikian adalah kekeliruan akbar, sebab berujung pada penyimplikasian sifat-sifat Tuhan yang tidak terbatas dan, secara tidak langsung, seakan melecehakan dan mengurangi kemaha-sempurnaan Tuhan itu sendiri.[46] Idealnya, sifat-sifat tersebut hanya ditempatkan sebagai bukti indikasi petunjuk kesempurnaanya dan sama sekali bukan puncak kesempurnaan. Ia memperkuat postulat itu sembari merujuk pada kitab-kitab suci para Nabi terdahulu, yakni anaha kulluha li al-irsyâd li kamâlih, ta’ala, lâ ghair.[47] Maksudnya, bahwa sifat tersebut adalah sekedar ‘sifat penampakan’ kemahklukan atau lebih tepatnya bentuk implementasi dari totalitas sifat-sifat yang ada, yang hanya dimiliki makhluk. Ia menambahkan, untuk tidak menutup kemungkinan terbukanya ketidak-terbatasan (unlimited) sifat-sifat Tuhan lainnya yang tabu diketahui dan sangat jauh berbeda dengan sifat antrofomorpisme kemakhlukan. Jadi, dengan demikian, agar tetap mengakui keabsahan tentang kesempuranaan dan ketidak terbatasan sifat-Nya, maka sudah sewajibnya untuk mengunakan Teologi Negatif (salbiyah).[48]


Epilog
SEBAIKNYA, untuk menelisik ulang disiplin ilmu kalam saat sekarang ini adalah suatu hal yang harus diwacanakan lebih keras genderang suaranya. Diakui, ilmu kalam klasik hanya ditempatkan tak lebih sebagai kredo pemeluknya bahwa ia memiliki Tuhan sesembahan manusia. Namun, sayangnya kurang diaplikasikan pada ranah humanisme. Karenanya, ilmu ini terkesan sakral dan inklusif bahkan hanya mampu bertempat tinggal dalam lingkup vertikal Tuhan- hamba an sich. Tanpa membuka jarak pada ranah horizontal kemanusiaan. Barangkali ini pula yang menjadi kebimbangan dan kegamangan Muhammad Abduh, bapak pembaharuan disiplin keilmuan Islam, terhadap produk ilmu kalam masa lampau yang hanya berkutat pada perdebatan skolastik yang melangit dan tidak membumi sama sekali. Sehingga wajarlah jika ia akhirnya mencoba membangun teologi baru dengan memfurifikasi seluruh epistem kalam klasik dalam karya besarnya Risalah al-Tauhid. Kemungkinan bersumber dari sinilah yang menjadi biang pemicu munculnya kalam baru (kalam jadid); yang tujuannya, disamping menjaga keesaan Tuhan sebagai sesembahan manusia, juga diproyeksikan untuk pembangunan humanisme dan kemajuan pengetahuan dengan spirit dasar ketuhanan dan keagamaan.

[1] Dipresentasikan pada hari Senin tanggal 6 Agustus 2007 di sekretariat Said Aqil Siradj (SAS) center
[2] Mahasiswa Al-Azhar Fakultas Ushuluddin tingkat III, yang selalu berharap-harap mendapat petunjuk jalan dan kebaikan-Nya
[3] Mahmud al-Syafi’i, Al-Madkhal ila Dirâsah ilm al-Kalâm, Maktabah Wahbah, Cairo, Cet. II, 1991, h. 18
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Majid Fahkri, a History of Islamic Philosofhi, dialih-arabkan dengan tajuk: Tarikh al-Falsafahi Islamiyah, al-Jamiah al-Amerika, Beirut, cet. I 2004, h. 286
[7] Ibid, h. 286
[8] Ibid,
[9] Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Muassah al-Halabiy, cairo, tt, h. 86
[10] Abdul Hakim Ajhar, Ibnu Taymiyah wa Isti’nâf al-qawl al-falsafi fi al-Islam, al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, Beirut, cet. I, 2004, h. 45
[11] Husein Muruwah, al-Naz’ah al-Madiyah fi Filsafta al-Arabiyah al-Islamiyah, Dar al-Farabi, Beirut, cet. VI, 1988, vol. I, h, 848
[12] Sejatinya I’tizâl (golongan oposan Ali bin Abi thalib) benar-benar menjadi mazhab teologi (yang paling kuno dari sekte lainnya) ketika mengusung diskursus qadariyah di tangan Wasil bin Atha’ dan Umar bin Abid pada akhir kekuasaan Bani Umayah. Keduanya berasal dari madrasah Hasan al-Basri yang kemudian keluar dan memplokramirkan mazhab sendiri (mazhab Mu’tazilah) dengan memperluas cakupan diskursus qadariyah menjadi lima asas dasar. (1) Tauhid, (2) Adil, (3) Ancaman dan Janji (Wa’d wa Waîed) , (4) antara dua posisi (al-Manzilah bayn Manzilatayn), (5) Perintah kebaikan dan menjauhi larangan (al-amr bi al-ma’ruf wa nahy an al-maunkar). Dengan demikian, ketika seorang muslim sempurna memiliki keimanan ini layaklah disebut Mu’tazilah. Lihat: al-Khiyat al-Mu’taziliy, kitab al-intishâr, Dar al-Arabiyah li al-Kitab, Cairo, cet II, h. 126-127
[13] Hipotesa ini didukung penuh oleh Ignaz Goldziher bahwa asal-muasal kemunculan sekte-sekte Islam tidak lain akibat konflik politik di kalangan elitis sahabat hingga timbulah menjadi kelompok terpecah-pecah. Pada era-era awal ini, diskursus teologi belum menjadi sesuatu yang begitu elan-esensial dan tidak terpecah-belahkan. Selanjutnya, tidak berapa lama kemudian, diskursus teologi mendadak menjadi sesuatu yang penting diperbincangkan. Tujuanya untuk mendukung status quo kekuasaan. Dengan demikian, jadilah ilmu kalam sebagai ilmu akademis keislamanan untuk mendukung setiap kepentingan dan kebijakan kekuasaan, khususnya Bani Umawiyah saat itu. Lihat: Ignaz Goldziher, Vorlesungen Uber den Islam, dialih-arabkan dengan tajuk: al-Aqidah wa Syari’ah fi Islam, Dar al-Raid al-Arabi, Beirut, h. 76-78
[14] Husein muruwah, op.cit, h. 848
[15] Ibid, h. 846
[16] Asy’ari awalnya sebagai pengikut setia Mu’tazilah, lantas akhirnya bertobat dan menyatakan diri keluar dari Mu’tazilah setelah ia berdebat alot dengan gurunya, al-Jubai, pentolan Mu’tazilah. Ia menarik segala diskursus yang berekenaan dengan teologi dasar Mu’tazilah, seperti kewajiban adil bagi Tuhan, kemakhlukan al-Qur’an. Secara mendasar dasar tujuan pembangunan mazhab Asy’ari adalah, pertama, mempertahankan teologi berlandaskan sunnah Nabi. Kedua, dengan sendirinya, membangun mazhab baru Asy’arian. Ketiga, menyerang prontal keyakinan-keyakinan Mu’tazilah bahkan melabeli kafir. Lihat lebih jauh: Abdurrahman Badawi, madzâhib al-islamiyien, Dar al-Ilm li al-Malayin, Beirut, cet. II, 2005, h. 493-497
[17] Ibid,
[18] Majid Fahkri, op.cit, h. 283
[19] Ignaz Goldziher, op.cit, h. 91
[20] Ibid, h. 88
[21] Ahmad Mahmud Subhi, Fi Ilm Kalâm; Dirasah Falsafiyah, Dar al-Kutub al-Jami’ah, h. 184
[22] Abid al-Jabiri, Takwîn al-Aql al-Arabi, Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, cet. IIIIV, 2006, h. 111
[23] Ahmad mahmud subhi, op.cit, h. 188-189
[24] Lihat kata pengantar Hammad bin Muhammad al-Anshori dalam kitab karangan: Asy’ari, al-Ibâanah ‘an Ushuluddin, Dar al-Bashirah, Iskandaria, cet. I, 1992, h. 8
[25] Ashim Ibrahim al-Kaylani, dalam kata pengantar kitab karangan: al-Maturidi, Kitab al-Tauhîd, Dar al-Kutub Ilmiah, Beirut, cet. I, 2006, h. 4
[26] Ahmad mahmud Subhi, op.cit, h. 188-189
[27] Ibid, lihat juga : Ignaz Goldziher, op.cit. h. 98
[28] Ibid, h. 189, Sementara Asy’arian hampir menguasai semua kawasan dunia Islam kala itu. Bandingkan dengan: Ignaz Goldziher, op.cit, h. 99
[29] Ignaz Goldziher, op.cit. h. 99
[30] Claude Salamah dalam kata pengantar kitab : Abu Muin al-Nasafi, Tabshirah Adillah fi Ushulûddin, al-Ma’had al-Ilmi al-Prancis li Dirasah al-Arabiyah, Damaskus, h. IV
[31] Ibid,
[32] Mahmud al-Syafi’i, op.cit. h. 89-90
[33] Dalam terma baik (hasan) dan buruk (qabh) asy’arian menyandarkan pada asas tunggal syariah. Sementara maturidian menyandarkan bahwa citra baik-buruk itu sudah melekat secara alami pada esensi zatnya sendiri. Sekalipun agak rasionalis, namun tidak bersepakat dengan pendapat mu’tazilah bahwa manusia sudah terkena beban taklîf sebelum datangnya syara’ dan akal bisa menghukumi sebuah objek sembari menghalalkan atau mengharamkannya. Lihat : Mahmud al-Syafi’i, op.cit. h. 90
[34] Al-Imam al-Haramayn al-Juwayni, Hawâmisy ‘ala al-Aqidah al-Nidzâmiyah, Maktabah al-Iman, Cairo, cet. II, 2006, h. 178
[35] Fakhruraddin Muhammad bin Umar al-Razi, al-Mathalib al-Aliyah min Ilm al-Ilahiy, Dar al-Kutub al-ilmiah, Beirut, cet. I, 1999, vol. IIIIV, h. 85-98
[36] Abdul al-Hakim Ajhar, al-Tasyakulât al-Mubkirah lil-fikr al-islami, al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, Beirut, cet.I, 2005, h. 182
[37] Ignaz Goldziher, op.cit. h. 99
[38] Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, cet. IIV, 2004, h. 498
[39] Musa bin Maemun, Dilâlah al-Hâirin, Maktabah al-Tsaqafah al-Arabiyah, Cairo, Vol. I, h. 183
[40] Ibid,
[41] Untuk lebih detail lihat: Fakhuraddin al-Razi, Asas al-Taqdis, Dar al-Jil, Beirut, cet. I, 1993, 15-88
[42] Husein Atay, penyunting buku Dilâlah al-Hâirin untungnya telah berbaik hati menyalin kitab karangan Muhammad al-tibrizi yang berisi penyarahan premis-premis berjumlah dua lima itu secara utuh dalam kitab karangan Maemonides sendiri, lihat lebih jauh: Musa bin Maemun, op.cit, vol. II. H. 231-267
[43] Ibid, vol. I, h. 181
[44] Ibid, vol. I, h. 181-182
[45] Ibid, vol. I, h. 182
[46] Ibid, vol. I, h. 145
[47] Ibid, vol. I, h. 149
[48] Ibid, vol. I, h. 149


Kembara Nalar Tafsir Al-Qur’an:
Era Klasik Hingga Modern

Judul Buku : Madzâhib al-Tafsir al-Islam
Penulis : Ignaz Goldziher
Cetakan : III, 1985
Penerbit : Dar Iqra
Resentator : Faiq Ihsan Anshori
Termaktub sebagaimana dalam diskursus Injil yang multi-interpretatif, –mengutip Peter Werenfels seorang teolog-interpreter Kristiani dalam pembukaan buku Ignaz Goldziher ini–, demikian al-Qur’an pun adalah kawasan pasar raya tafsir; yang mampu memposisikan diri sebagai asas tunggal puspa ragam metodologi tafsir. Setiap penggali tafsir akan mampu menemukan justifikasi rupa-rupa diskursus keilmuan apapun dalam Kalam Tuhan itu.
Dalam literatur-literatur kuno, terpapar bahwa sejarah kodifikasi Al-Qur’an terbentuk-kan oleh tradisi oral dan periwayatan (tsaqâfah musyafahah wa al-riwâyah). Sejak mula diturunkannya, bahasa wahyu adalah sebentuk starting point sebuah pembakuan al-Qur’an terkemudian. Kala itu, Al-Qur’an memang belum mengenal canggih peradaban teks dan nalar (tsaqâfah kitabah wa dirâyah). Barulah pasca kewafatan Nabi Muhammad Saw. tepatnya saat Sahabat Abu Bakar RA. naik tampuk kekuasaan al-Qur’an mengalami sejarah baru; proyek agung kodifikasi Mushaf al-Bakariy, di mana masih berbentuk manuskrip standar tanpa titik-harakat maupun urutan surat. Motif pengkodifikasian ini sederhana; adanya kekhwatiran kehilangan pusaka peninggalan Nabi itu, akibat banyaknya para khufâdz al-Qur’an yang meninggal dunia dalam perisitiwa perang Yamamah; kala memerangi para pembelot agama dan pembangkang zakat. Atas insiatif Umar RA inilah (sekalipun awalnya Abu Bakar sendiri tidak menyetujui, sebab anggapan bid’ah) kemudian dilakukan upaya kodifikasi al-Qur’an dari para sahabat yang masih hidup dengan mencatatnya sehingga terbentuklah Mushaf al-Bakariy.
Bisa jadi banyak kalangan muslim yang kecele; bahwa Mushaf Utsami, sejatinya, adalah proyek kelanjutan dari Mushaf al-Bakariy; bahwa Mushaf al-Bakariy merupakan pembentukan Mushaf Utsamni secara embional-geneologis. Yang awalnya menyimpan arkeolog varian bacaan terlengkap, namun bacaan itu tiba-tiba di(lenyap)kan seiring hegemoni bacaan tunggal dibawah bendera rasm utsmani. Motif penunggalan bacaan ini tak lain karena menyaksikan pertentangan varian bacaan pada beberapa daerah kekuasan Islam kala itu yang masing-masing mempunyai mushaf bacaan sendiri dan, parahnya, mendaku sebagai bacaan paling otoritatif warisan Nabi. Demi upaya persatuan Umat Islam serta menyelamatkan dari pakewuh umat ini. Kemudian Utsman memberi mandat terhadap sahabat Zaid bin Tsabit untuk memeriksa kembali Mushaf al-Bakariy dan menyalin ulang serta mempulikasikannya di wilayah-wilayah konflik sembari menyebarkan para penghulu qurra’ (imam bacaan) sebagai usaha memperlancar penertiban varian bacaan yang ada. Usaha khilafah Utsman ini dianggap menuai sukses –hingga bisa dirasakan kini. Sebab jika dilarutkan tentu eksesnya akan lebih buruk dan menakutkan. Niscaya muncul sekte-sekte Islam dengan pegangan ‘kitab suci’-nya masing-masing –sebagaimana yang terjadi dalam sejarah agama Kristen.
Hanya saja, jika mau ditilik lebih jeli, sejatinya masih meninggalkan lubang luka menganga sehingga menimbulkan iritasi dan radiasi yang melebar di era selanjutnya. Sejarah pembentukan al-Qur’an memang diakui syarat dengan intrik kepentingan penguasa dan ‘pemihakan’. Ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab, sebagai salah satu pemilik varian bacaan al-qur’an, adalah sampel ‘korban sejarah’ pembentukan al-Qur’an. ‘Kesalahan besar’ penguasa, barangkali, karena mereka tidak diikutkan dalam proyek suci kodifikasi al-Qur’an baik masa kekhalifahan Abu Bakar maupun kekhalifahan Utsaman. Konsekuensinya tentu menghilangkan aset mahal variaan bacaan ala Ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab. Entah kita beranggapan sebagai preseden kecelakaan sejarah Islam paling mengerikan atau tidak dalam. Yang jelas telah terjadi ‘antagonik tak terlupakan’yang menimpa al-Qur’an sebagai korpus suci umat Islam. Dari sini, tak ayal, kemudian menjadi mangsa empuk para ‘kritikus Islam’ dalam mendiskursuskan problem originalitas al-Qur’an. Modusnya dengan merubah skenario sejarah di atas menjadi ‘kontruksi anomali sandiwara’, yang bermuatan destruktif.
Bermula dari sinilah drama (pilu) sejarah al-Qur’an, sebagaimana tertuang dalam buku Richtungen der islamischen Korananslegung (Madzâhib al-Tafsir al-Islami) ini. Orientalis berdarah Yahudi itu secara apik melacak pragmen-pragmen diskontiunitas yang terabaikan dalam sejarah (dominan) Islam. Agaknya sudah menjadi karakter dan keahlian oreintalis manakala menyingkap tirai-tirai kelambu sejarah dan mengulas ulang sejarah itu sesuai kepentingan mereka, biarpun tampak samar. Diskursus qiraât atau varian bacaan, yang diletakan pada chafter pertama buku itu, langsung terasa aroma filologisnya. Dalam buku ini pembacaan Goldziher (sebagaimana umumnya pandangan para orientalis) terhadap timbulnya varian bacaan dilatari dua fakor. Pertama, tiada pengejaan bacaan (ortografi). Kedua, tiada aturan bacaan standar (grammatologi). Nah, akibat faktor ‘simplisitas’ inilah, membuat al-Qur’an, sebagai Pesan Tuhan kali pertama, menjadi tidak sistematis dan kacau-balau (idhthirâb wa ‘adam al-tsabât) oleh ulah manusia. Hingga memicu timbulnya varian bacaan. Sebab, dengan demikian, al-Qur’an menjadi area bebas bacaan. Bisa terbaca sesuai hasrat pembaca. Dan, akhirnya, menimbulkan ragam varian bacaan. Hipotesa orientalis inilah yang disebut sebagai ‘riset ilmiah filologik’. Di mana berangkat dari kesadaran pra asumsi, bahwa varian bacaan pada dasarnya mengikuti teks (reading follows the text), sebagaimana yang diyakini konsensus orientalis akibat tradisi ahlu kitab dalam memandang kitab sucinya yang berversi-versi; akibatnya, bersekte-bersekte agama. Untuk mendukung postulat itu Goldziher menguatkannya dengan data empiris adanya kemunculan tujuh madrasah bacaan pada kurun sembilan H. Sebuah landasan kepentingannya yang ‘menyesuaikan diri’ dengan prediksi sabda Nabi tentang penurunan tujuh varian bacaan.
Dalam rekaman sejarah qira’âh, tepatnya abad tiga H. ditemukan kasus Ibnu Syanbudh dan muridnya Abu Bakar al-Athar al-Muqri’ yang mencoba menghidupkan kembali bacaan Abdullah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab. Mereka tak lain bermaksud memberontak hegemoni tunggal bacaan mushaf utsmani. Gugus epistema yang diusung adalah, bahwa sejatinya sebuah varian bacaan (rasm utsamni), tidak seharusnya diposisikan sebagai korpus resmi tertutup (closed official corpus) apalagi dianggap sebagai produk yang taken for granted. Karenanya, masih sangat terbuka untuk melakukan pembacaan bebas tanpa terkungkung pada satu bacaan. Sayangnya, penguasa tirani Bagdad membungkam suara-suara kebebasan itu dengan menindasnya. Nampaklah, (jika boleh meminjam pretensi foucault; power is knowledge) betapa sistem pengetahuan tanpa dukungan kekuatan penguasa tidak akan berakhir mulus. Keduanya berkelindan.
Yang perlu dijadikan catatan pada kontruksi varian bacaan ini, sebagai antitesa dari pembacaan Goldziher, sesungguhnya, secara primordial telah terjadi beda pola pandang antara orientalis dan keyakinan dalam Islam sendiri. Dalam Islam, diskursus varian bacaan bukan timbul akibat ketiadaan ejaan/ortografi, sebagaimana yang diyakini kalangan orientalis. Namun lebih didasarkan pada fakta sejarah bahwa varian bacaan itu semata-mata mengikuti tranmisi riwayat sahabat (al-rasm tabi' li al-riwayâh), sebagai representasi identitas budaya oral saat itu. Secara tidak langsung hal ini telah menegaskan ulang dalam diskursus lain; disiplin grammatika, yang mau tak mau harus tunduk dengan kekayaan kompleksitas bacaan yang ada. Bukan malah sebaliknya; bacaan harus tunduk pada grammar. Dengan demikian, tentu setiap perbedaan bacaan membuka peluang lebar sebagai justifikasi pembentuk aturan tata bahasa baru.
Pada pembahasan kedua, Goldziher melacak metodologi penafsiran yang ada pada awal-awal sejarah penafsiran Islam, yakni penafisiran tranmisional (tafsir ma’tsûr); sebuah arti tafsir yang bersumberkan langsung dari Nabi yang ditransmisi-kan kepada sahabat dan tabi’in. Secara geneologis model penafsiran ini merupakan warisan era kehidupan Nabi yang kala itu masih produktif menerima kidung wahyu. Adalah lazim ketika wahyu turun maka Nabi pun langsung mewartakan wahyu itu kepada para sahabatnya sembari memahami dan menafsirkannya. Sehingga terbentuklah budaya lisan dan periwayatan yang kemudian menjadi cikal pembentuk tafsir transmisional. Nabi, sebagai penafsir tunggal, tentu memiliki otoritas penuh atas wahyu dan, karenanya, tahu persis penafsiran setiap ayat. Pasca wafat Nabi, ikon penafsir ulung dilimpahkan kepada Ibnu Abas yang didaulat sebagai turjuman Al-Qur‘an; gelar kehormatan berkat (doa) Nabi dan Jibril. Kepiawayan Ibnu Abas dalam menafsirkan al-Qur’an, dibanding sahabat lainnya, tak pelak menyematkan namanya dianggap sebagai peletak dasar ilmu tafsir.
Dalam pada itu, akibat karakter tafsir ma’tsûr yang cenderung bercorak nalar deduktif (langit). Pada perkembangannya, paradigma tafsir dihegemoni oleh orang-orang yang telah mendapatkan ‘lisensi hak cipta’ dari Nabi sebagai tafsir absolut. Terkecuali itu, tidak bisa diterima, apapun bentuknya. Hingga pada awal dua H. tafsir ma’tsûr ini tetap menyeruak dan menjadi mainstream metode tafsir. Sialnya, pekerjaan tafsir dianggap sebagai hantu menjijikan yang bergentayangan dengan rupa kegamangan setiap melakukan upaya penafsiran baru. Artinya ada kesan streotifisasi; bahwa penafsiran menggunakan nalar adalah penafsiran yang lebih berdasarkan ‘syahwat pribadi’ dan, sama sekali, belum layak sebagai tafsir bi-ilm. Bahkan dianggap kesalahan fatal yang berakibat pengkafiran. Dari sinilah, muncul bersemarak penafsiran cerita israiliyât ahlu kitab Nasrani-Yahudi. Masih dianggap relatif aman; masih cenderung masuk kategori tafsir ma’tsûr. sebab jelas tidak menggunakan nalar tapi sekedar meriwayatkan peristiwa atau mitos yang bersenyawa dengan al-Qur’an. Paradigma israiliyât pun mewabah pada penafsiran bi al-ma’tsur dan hampir saja tiada sekat pembatas, hingga kadang identik tafsir itu sendiri. Dan agaknya mayoritas sahabat menyetujui kosensus diskursif ini, terkecuali sosok abdullah bin Mas’ud. Sejak awal ia konsisten membangun mazhab nalar (ra’y) sembari membangkang metode penafsiran transimisional sebab berakhir-akibat pada pembebekan buta mitologi. Ia mengecam tindakan menganulir nalar sebab diangap pemasungan kebebasan akal sebagai mesin (re)produksi tafsir. Sama sekali tidak menyukai ketika ada yang bertanya, lantas dengan entengnya menjawab: ‘Allah lebih tahu’. Suatu hal yang naif, menurutnya.
Pengaruh israiliyât ini menimpa pula pada corak tafsir Ibnu Abas. Bahkan dianggap fasilitator terbesar, yang ternyata, konon, sering mengkhatamkan Injil secara rutin. Ini bisa terlacak melalui akses orang-orang terdekatnya, yang eks ahlu kitab; di mana mereka dikategorikan sebagai penyuplai besar israiliyât dalam tafsir Ibnu Abbas. Orang-orang terdekat itu, di antaranya, adalah Abdullah bin Salam dan Ka’ab al-Ahbar; dua dedengkot ulama ahlu kitab yang telah memeluk Islam, sebagaimana penuturan Goldziher. Namun demikian, data ini sebetulnya tidak sesuai dengan fakta-fakta dari kalangan Islam sendiri yang menyatakan bahwa Ibnu Abbas tidak terpengaruh mitos israiliyât dalam corak tafsirnya.
Tongkat estafet tafsir Ibnu Abbas diteruskan murid-muridnya. Salah satu yang terkenal adalah Mujahid yang banyak meriwayatkan tafsir langsung dari gurunya. Puncaknya ketika berada di tangan Muhamad Jarir al-Tabari. Ia, lewat karya tafsirnya, menggunakan metodologi analisa riwayat secara selektif dengan mengandalkan ilmu linguistik dan penguasaan syair-syair kuno ketika menemukan riwayat-riwayat yang kontradiktif. Serta memperluas jejaring tafsir israiliyât langsung bersumber pada kitab asalnya.
Chafter ketiga beralih pada pembidikan tafsir bi-ra’y. Periode ini bisa dikatakan sebagai babak transisi peralihan metodologi tafsir lama menuju tafsir bercorak teoritis-metodologis. Lepas landas dari kontiunitas epistem tafsir ma’tsur. Corak ini, oleh Goldziher, dikategorikan penafsiran afirmatif-teologis. Di mana nalar mulai bermain di wilayah teks Kalam Tuhan sebagai justifikasi kepentingan ideologinya. Sehingga bermunculan sekte-sekte Islam dengan menjadikan al-Qur’an sebagi legitimasi kebenaran, macam Muktazilah, Syiah, dan Ahli Sunnah. Pedebatan terbesar tentang teologi berputar pada diskursus idrâk al-ulûhiyah. Masing-masing sekte ngotot mengklaim kebenaran hingga kadang terjadi pertumpahan darah antar sekte. Jika dirunut jeli, sikap sektarianisme dan fanatisme ekstrim ini sejatinya ternyata berpulang pada satu muara; interpretasi al-Qur’an.
Selanjutnya, Goldziher menganjakan diri pada corak penafsiran tasawuf. Pada bagian ini, nampak terlihat kontras, bahwa corak tafsir yang diusung para mutashawwifin berbeda dengan era sebelumnya. Al-Qur’an, dalam konteks tasawuf, dijadikan pelambang mistik yang mendekatkan pada Tuhannya. Maka, (1) Posisi simbol-simbol sangat mempengaruhi dalam membentuk penafsiran mereka. (2) ‘Corak abstrak’ begitu mendominasi, yang menjadikan ciri khas menonjol dibanding ‘corak kongkrit’. (3) Realitas dalam pandangan sufistik menjadi sesuatu yang terabaikan, sebab hanya menjadi sekat pembatas untuk menemukan hakikat diri. Jadinya, (4) standar kebenaran tafsir terletak pada noktah simbol-simbol yang tersembul. Tak heran jika muncul terma Wihdah al-Wujûd, Insân Kâmil, Haqîqah al-Muhamadiyyah dan sebagainya yang dipopulerkan para maestro sufi-teosuf Ibnu Arabi, al-Jilly dan lainnya. Tampaknya ajaran neoplatonik begitu luar biasa mempengaruhi cara pandang tasawuf Islam. Jika oleh muafassirin al-Qur’an biasa didudukan sebagai objek tafsir justru oleh kaum sufi diposisikan sebagai subjek-nya. Karena perbedaan wilayah tafsir ini, wajar jika terjadi permusuhan abadi anatara kaum sufi dan mufassirin (termasuk di dalamnya fuqaha’. Sebab sewarna dalam penafsiran). Tokoh-tokoh sufi martir, al-Hallaj, Suhrawardi adalah korban dari puncak pertikaiaan mereka. Polemik dan hujat-menghujat pun biasa terjadi. Saking muaknya, bahkan Ibnu Arabi dalam Futuhât al-Makiyah mengeluh dan prihatin atas kebencian mendalam para ulama rusûm (baca: fuqaha’) yang menganggap kaum shufi dan fuqaha’ ibarat Fir’aun dan Para Rasul.
Chafter berikutnya Goldziher mencoba menarik jauh ke ranah publik; di mana al-Qur’an dijadikan sebagai alat tunggangan ideologi untuk membenarkan sikap politik masing-masing sekte. Seperti Syi’ah dan Khawârij. Sebagaimana yang terjadi pada peristiwa arbitrasi antar Ali RA. dan Muawiyah RA. Dikupas pula secara lebar corak teologi Syi’ah. Terutama kaitannya dengan keimanan atas Ali RA, sebagai ikon suci kedua setelah Nabi. Serta, tak kalah penting, penjelasan keengganan Syi’ah menggunakan Mushaf Utsmani yang dianggap tidak refresentatif mewakili mushaf mereka, akibat konon beberapa ayat/surat yang direduksi. Mushaf Ali RA., bagi mereka, lebih otoritatif sebagai mushaf resmi dibanding lainnya.
Yang menarik buku ini dipungkasi dengan pembaharuan dan perkembangan corak tafsir modern. Isu penting dalam buku itu adalah perkembangan Islam di era kebangkitan yang disebut sebagai pan Islamisme. Juga membidik wacana mutakhir tentang Islam dan benturan peradaban modern. Goldziher, dengan lincah dan cerdik, merekam aksi-reaksi isu terebut di beberapa negara Islam, seperti India yang digerakakn oleh Ahmad Khan dan Sayid Amir Ali; di mana lebih condong mengakomodir modernitas dengan ejawantah pembukaan kran kebebasan berpikir dan membuang jauh-jauh epos romantisme masa lalu. Begitu pun di Mesir, sosok Muhamad Abduh menjadi ikon pembaharu perdana yang menawarkan Islam dan peradaban sebagai kesatuan entitas yang tak terpishkan. Demi memulai proyeknya, ia berangkat dari elan vital tafsir klasik yang harus direstorasi total, dengan mempurifikasi dan mengembalikan pada ruh Islam awal; era di mana belum terjadi munculnya khilafiyah. Ia menilai kesalahan corak tafsir klasik adalah tidak menjadikan al-Qur’an sebagai sumber primer (rujukan awal) keagamaan. Malah dijadikan sumber sekunder dalam menjustifikasi kepentingan ijtihad sebuah mazhab dan atau kelompok tertentu. Hasilnya, melimpahnya karya tafsir yang beraroma teologis-politis, yang, secara substansial, nyaris seragam tapi, faktanya, tidak mengena sasaran. Tafsir al-Manar adalah salah satu karya yang digarap bersama muridnya Muhammad Rasyid Ridha. Sejatinya karya elaborasi itu merupakan hasil kuliah-kuliah Muhammad Abduh yang didokumentasikan dalam majalah al-Manar, yang kemudian dikodifikasikan menjadi proyek pribadi Ridha.
Membaca buku ini sangat mengasyikan dan menantang, seakan membaca karya-karya Dan Brown, sang novelis fenomenal, yang penuh liku misteri, intrik, dan banyak kejutan. Pembaca, pertama-tama, disuguhi cerita nonfiksi sebuah ‘epos kolosal’ lalu-lintas tafsir al-Qur’an; mulai sejarah pembentukan al-Qur’an, babak-babak awal periode penafsiran hingga jauh dilempar pada gerbang alam modern masa Abduh. Keistimewaan karya ini diolah dengan pendekatan taksonomis. Sehingga memudahkan menangkap setiap plot ragam tafsir. Lebih-lebih dibingkai secara runut-periodik. Ini, tentunya tidak menafikan bahwa Goldziher mau tak mau akan terjebak pada ‘pemangkasan paksa’ nalar tafsir yang terpinggirkan. Sudah barang tentu terdapat simplikasi, generalisasi. Ini mungkin bisa dimaklumi sebagai resiko yang tak bisa dihindari. Hanya saja, sayangnya, tak jarang Goldxiher menyusupkan anomali-anomali intelektual menyesatkan yang bisa saja membahayakan kredo (pembaca) umat Islam. Ini tentu erat kaitannya dengan kepentingan dan sentimen pribadi atas Islam. Namun demikian, seyogianya, umat Islam mesti banyak mengambil hikmah dari karya orientalis. Buku ini, misalnya, pantas dijadikan sebagai studi komparatif. Sebab keutamannya mengunakan pendekatan metodologi kritis-historis-filologis al-Qur’an yang langka digunakan kalangan Islam.
Membincang originalitas al-Qur’an bukan berarti menegasikan kebenaran dan ke-esa-an al-Qur’an yang ada sekarang. Sebab, alih-alih mengestimasikan bahwa rasm utsamani hanya memuat dan mewariskan satu varian bacaan, tentu tidak serta merta mushaf utsamni dianggap sebagai ‘produk gagal’ akibat hanya perkara biang kesalahan sistem kebijakan penguasa masa lalu. Dan, karenanya, dianggap tidak layak untuk dibaca (lagi). Hemat saya, ini merupakan satu penafsiran keliru dan sangat berbahaya. Sebab Nabi sendiri tidak pernah menyalahkan satu bacaan, dan (bahkan) mewajibkan pada spesifikasi satu bacaan tertentu. Harus diingat dan dicamkan, jika Nabi pernah memberikan lisensi satu kebijakan dalam sabda agungnya; “… bahwa seluruh bacaan, apapun varian bacaan itu, patut dibenarkan (kulluha shawâb)”. Singkatnya; bagaimanapun, al-Qur’an akan tetap mengandung aura terapeutik, sebuah pancaran keagungan dan kesalehan bagi pembacanya. Yang akan selalu mengalami pergerakan transformasi tafsir berkesinambungan sesuai putaran roda zaman. Jadi, sesekali, ia tidak akan dikerdilkan apalagi dipecundang-kan zaman. Umat Islam-lah ‘pemain’ sesungguhnya dibalik kidung makna al-Qur’an. Sebab tanpa ditafsirkan Kalam Tuhan itu niscaya menjadi tuna makna.