Friday, October 5, 2007


Kembara Nalar Tafsir Al-Qur’an:
Era Klasik Hingga Modern

Judul Buku : Madzâhib al-Tafsir al-Islam
Penulis : Ignaz Goldziher
Cetakan : III, 1985
Penerbit : Dar Iqra
Resentator : Faiq Ihsan Anshori
Termaktub sebagaimana dalam diskursus Injil yang multi-interpretatif, –mengutip Peter Werenfels seorang teolog-interpreter Kristiani dalam pembukaan buku Ignaz Goldziher ini–, demikian al-Qur’an pun adalah kawasan pasar raya tafsir; yang mampu memposisikan diri sebagai asas tunggal puspa ragam metodologi tafsir. Setiap penggali tafsir akan mampu menemukan justifikasi rupa-rupa diskursus keilmuan apapun dalam Kalam Tuhan itu.
Dalam literatur-literatur kuno, terpapar bahwa sejarah kodifikasi Al-Qur’an terbentuk-kan oleh tradisi oral dan periwayatan (tsaqâfah musyafahah wa al-riwâyah). Sejak mula diturunkannya, bahasa wahyu adalah sebentuk starting point sebuah pembakuan al-Qur’an terkemudian. Kala itu, Al-Qur’an memang belum mengenal canggih peradaban teks dan nalar (tsaqâfah kitabah wa dirâyah). Barulah pasca kewafatan Nabi Muhammad Saw. tepatnya saat Sahabat Abu Bakar RA. naik tampuk kekuasaan al-Qur’an mengalami sejarah baru; proyek agung kodifikasi Mushaf al-Bakariy, di mana masih berbentuk manuskrip standar tanpa titik-harakat maupun urutan surat. Motif pengkodifikasian ini sederhana; adanya kekhwatiran kehilangan pusaka peninggalan Nabi itu, akibat banyaknya para khufâdz al-Qur’an yang meninggal dunia dalam perisitiwa perang Yamamah; kala memerangi para pembelot agama dan pembangkang zakat. Atas insiatif Umar RA inilah (sekalipun awalnya Abu Bakar sendiri tidak menyetujui, sebab anggapan bid’ah) kemudian dilakukan upaya kodifikasi al-Qur’an dari para sahabat yang masih hidup dengan mencatatnya sehingga terbentuklah Mushaf al-Bakariy.
Bisa jadi banyak kalangan muslim yang kecele; bahwa Mushaf Utsami, sejatinya, adalah proyek kelanjutan dari Mushaf al-Bakariy; bahwa Mushaf al-Bakariy merupakan pembentukan Mushaf Utsamni secara embional-geneologis. Yang awalnya menyimpan arkeolog varian bacaan terlengkap, namun bacaan itu tiba-tiba di(lenyap)kan seiring hegemoni bacaan tunggal dibawah bendera rasm utsmani. Motif penunggalan bacaan ini tak lain karena menyaksikan pertentangan varian bacaan pada beberapa daerah kekuasan Islam kala itu yang masing-masing mempunyai mushaf bacaan sendiri dan, parahnya, mendaku sebagai bacaan paling otoritatif warisan Nabi. Demi upaya persatuan Umat Islam serta menyelamatkan dari pakewuh umat ini. Kemudian Utsman memberi mandat terhadap sahabat Zaid bin Tsabit untuk memeriksa kembali Mushaf al-Bakariy dan menyalin ulang serta mempulikasikannya di wilayah-wilayah konflik sembari menyebarkan para penghulu qurra’ (imam bacaan) sebagai usaha memperlancar penertiban varian bacaan yang ada. Usaha khilafah Utsman ini dianggap menuai sukses –hingga bisa dirasakan kini. Sebab jika dilarutkan tentu eksesnya akan lebih buruk dan menakutkan. Niscaya muncul sekte-sekte Islam dengan pegangan ‘kitab suci’-nya masing-masing –sebagaimana yang terjadi dalam sejarah agama Kristen.
Hanya saja, jika mau ditilik lebih jeli, sejatinya masih meninggalkan lubang luka menganga sehingga menimbulkan iritasi dan radiasi yang melebar di era selanjutnya. Sejarah pembentukan al-Qur’an memang diakui syarat dengan intrik kepentingan penguasa dan ‘pemihakan’. Ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab, sebagai salah satu pemilik varian bacaan al-qur’an, adalah sampel ‘korban sejarah’ pembentukan al-Qur’an. ‘Kesalahan besar’ penguasa, barangkali, karena mereka tidak diikutkan dalam proyek suci kodifikasi al-Qur’an baik masa kekhalifahan Abu Bakar maupun kekhalifahan Utsaman. Konsekuensinya tentu menghilangkan aset mahal variaan bacaan ala Ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab. Entah kita beranggapan sebagai preseden kecelakaan sejarah Islam paling mengerikan atau tidak dalam. Yang jelas telah terjadi ‘antagonik tak terlupakan’yang menimpa al-Qur’an sebagai korpus suci umat Islam. Dari sini, tak ayal, kemudian menjadi mangsa empuk para ‘kritikus Islam’ dalam mendiskursuskan problem originalitas al-Qur’an. Modusnya dengan merubah skenario sejarah di atas menjadi ‘kontruksi anomali sandiwara’, yang bermuatan destruktif.
Bermula dari sinilah drama (pilu) sejarah al-Qur’an, sebagaimana tertuang dalam buku Richtungen der islamischen Korananslegung (Madzâhib al-Tafsir al-Islami) ini. Orientalis berdarah Yahudi itu secara apik melacak pragmen-pragmen diskontiunitas yang terabaikan dalam sejarah (dominan) Islam. Agaknya sudah menjadi karakter dan keahlian oreintalis manakala menyingkap tirai-tirai kelambu sejarah dan mengulas ulang sejarah itu sesuai kepentingan mereka, biarpun tampak samar. Diskursus qiraât atau varian bacaan, yang diletakan pada chafter pertama buku itu, langsung terasa aroma filologisnya. Dalam buku ini pembacaan Goldziher (sebagaimana umumnya pandangan para orientalis) terhadap timbulnya varian bacaan dilatari dua fakor. Pertama, tiada pengejaan bacaan (ortografi). Kedua, tiada aturan bacaan standar (grammatologi). Nah, akibat faktor ‘simplisitas’ inilah, membuat al-Qur’an, sebagai Pesan Tuhan kali pertama, menjadi tidak sistematis dan kacau-balau (idhthirâb wa ‘adam al-tsabât) oleh ulah manusia. Hingga memicu timbulnya varian bacaan. Sebab, dengan demikian, al-Qur’an menjadi area bebas bacaan. Bisa terbaca sesuai hasrat pembaca. Dan, akhirnya, menimbulkan ragam varian bacaan. Hipotesa orientalis inilah yang disebut sebagai ‘riset ilmiah filologik’. Di mana berangkat dari kesadaran pra asumsi, bahwa varian bacaan pada dasarnya mengikuti teks (reading follows the text), sebagaimana yang diyakini konsensus orientalis akibat tradisi ahlu kitab dalam memandang kitab sucinya yang berversi-versi; akibatnya, bersekte-bersekte agama. Untuk mendukung postulat itu Goldziher menguatkannya dengan data empiris adanya kemunculan tujuh madrasah bacaan pada kurun sembilan H. Sebuah landasan kepentingannya yang ‘menyesuaikan diri’ dengan prediksi sabda Nabi tentang penurunan tujuh varian bacaan.
Dalam rekaman sejarah qira’âh, tepatnya abad tiga H. ditemukan kasus Ibnu Syanbudh dan muridnya Abu Bakar al-Athar al-Muqri’ yang mencoba menghidupkan kembali bacaan Abdullah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab. Mereka tak lain bermaksud memberontak hegemoni tunggal bacaan mushaf utsmani. Gugus epistema yang diusung adalah, bahwa sejatinya sebuah varian bacaan (rasm utsamni), tidak seharusnya diposisikan sebagai korpus resmi tertutup (closed official corpus) apalagi dianggap sebagai produk yang taken for granted. Karenanya, masih sangat terbuka untuk melakukan pembacaan bebas tanpa terkungkung pada satu bacaan. Sayangnya, penguasa tirani Bagdad membungkam suara-suara kebebasan itu dengan menindasnya. Nampaklah, (jika boleh meminjam pretensi foucault; power is knowledge) betapa sistem pengetahuan tanpa dukungan kekuatan penguasa tidak akan berakhir mulus. Keduanya berkelindan.
Yang perlu dijadikan catatan pada kontruksi varian bacaan ini, sebagai antitesa dari pembacaan Goldziher, sesungguhnya, secara primordial telah terjadi beda pola pandang antara orientalis dan keyakinan dalam Islam sendiri. Dalam Islam, diskursus varian bacaan bukan timbul akibat ketiadaan ejaan/ortografi, sebagaimana yang diyakini kalangan orientalis. Namun lebih didasarkan pada fakta sejarah bahwa varian bacaan itu semata-mata mengikuti tranmisi riwayat sahabat (al-rasm tabi' li al-riwayâh), sebagai representasi identitas budaya oral saat itu. Secara tidak langsung hal ini telah menegaskan ulang dalam diskursus lain; disiplin grammatika, yang mau tak mau harus tunduk dengan kekayaan kompleksitas bacaan yang ada. Bukan malah sebaliknya; bacaan harus tunduk pada grammar. Dengan demikian, tentu setiap perbedaan bacaan membuka peluang lebar sebagai justifikasi pembentuk aturan tata bahasa baru.
Pada pembahasan kedua, Goldziher melacak metodologi penafsiran yang ada pada awal-awal sejarah penafsiran Islam, yakni penafisiran tranmisional (tafsir ma’tsûr); sebuah arti tafsir yang bersumberkan langsung dari Nabi yang ditransmisi-kan kepada sahabat dan tabi’in. Secara geneologis model penafsiran ini merupakan warisan era kehidupan Nabi yang kala itu masih produktif menerima kidung wahyu. Adalah lazim ketika wahyu turun maka Nabi pun langsung mewartakan wahyu itu kepada para sahabatnya sembari memahami dan menafsirkannya. Sehingga terbentuklah budaya lisan dan periwayatan yang kemudian menjadi cikal pembentuk tafsir transmisional. Nabi, sebagai penafsir tunggal, tentu memiliki otoritas penuh atas wahyu dan, karenanya, tahu persis penafsiran setiap ayat. Pasca wafat Nabi, ikon penafsir ulung dilimpahkan kepada Ibnu Abas yang didaulat sebagai turjuman Al-Qur‘an; gelar kehormatan berkat (doa) Nabi dan Jibril. Kepiawayan Ibnu Abas dalam menafsirkan al-Qur’an, dibanding sahabat lainnya, tak pelak menyematkan namanya dianggap sebagai peletak dasar ilmu tafsir.
Dalam pada itu, akibat karakter tafsir ma’tsûr yang cenderung bercorak nalar deduktif (langit). Pada perkembangannya, paradigma tafsir dihegemoni oleh orang-orang yang telah mendapatkan ‘lisensi hak cipta’ dari Nabi sebagai tafsir absolut. Terkecuali itu, tidak bisa diterima, apapun bentuknya. Hingga pada awal dua H. tafsir ma’tsûr ini tetap menyeruak dan menjadi mainstream metode tafsir. Sialnya, pekerjaan tafsir dianggap sebagai hantu menjijikan yang bergentayangan dengan rupa kegamangan setiap melakukan upaya penafsiran baru. Artinya ada kesan streotifisasi; bahwa penafsiran menggunakan nalar adalah penafsiran yang lebih berdasarkan ‘syahwat pribadi’ dan, sama sekali, belum layak sebagai tafsir bi-ilm. Bahkan dianggap kesalahan fatal yang berakibat pengkafiran. Dari sinilah, muncul bersemarak penafsiran cerita israiliyât ahlu kitab Nasrani-Yahudi. Masih dianggap relatif aman; masih cenderung masuk kategori tafsir ma’tsûr. sebab jelas tidak menggunakan nalar tapi sekedar meriwayatkan peristiwa atau mitos yang bersenyawa dengan al-Qur’an. Paradigma israiliyât pun mewabah pada penafsiran bi al-ma’tsur dan hampir saja tiada sekat pembatas, hingga kadang identik tafsir itu sendiri. Dan agaknya mayoritas sahabat menyetujui kosensus diskursif ini, terkecuali sosok abdullah bin Mas’ud. Sejak awal ia konsisten membangun mazhab nalar (ra’y) sembari membangkang metode penafsiran transimisional sebab berakhir-akibat pada pembebekan buta mitologi. Ia mengecam tindakan menganulir nalar sebab diangap pemasungan kebebasan akal sebagai mesin (re)produksi tafsir. Sama sekali tidak menyukai ketika ada yang bertanya, lantas dengan entengnya menjawab: ‘Allah lebih tahu’. Suatu hal yang naif, menurutnya.
Pengaruh israiliyât ini menimpa pula pada corak tafsir Ibnu Abas. Bahkan dianggap fasilitator terbesar, yang ternyata, konon, sering mengkhatamkan Injil secara rutin. Ini bisa terlacak melalui akses orang-orang terdekatnya, yang eks ahlu kitab; di mana mereka dikategorikan sebagai penyuplai besar israiliyât dalam tafsir Ibnu Abbas. Orang-orang terdekat itu, di antaranya, adalah Abdullah bin Salam dan Ka’ab al-Ahbar; dua dedengkot ulama ahlu kitab yang telah memeluk Islam, sebagaimana penuturan Goldziher. Namun demikian, data ini sebetulnya tidak sesuai dengan fakta-fakta dari kalangan Islam sendiri yang menyatakan bahwa Ibnu Abbas tidak terpengaruh mitos israiliyât dalam corak tafsirnya.
Tongkat estafet tafsir Ibnu Abbas diteruskan murid-muridnya. Salah satu yang terkenal adalah Mujahid yang banyak meriwayatkan tafsir langsung dari gurunya. Puncaknya ketika berada di tangan Muhamad Jarir al-Tabari. Ia, lewat karya tafsirnya, menggunakan metodologi analisa riwayat secara selektif dengan mengandalkan ilmu linguistik dan penguasaan syair-syair kuno ketika menemukan riwayat-riwayat yang kontradiktif. Serta memperluas jejaring tafsir israiliyât langsung bersumber pada kitab asalnya.
Chafter ketiga beralih pada pembidikan tafsir bi-ra’y. Periode ini bisa dikatakan sebagai babak transisi peralihan metodologi tafsir lama menuju tafsir bercorak teoritis-metodologis. Lepas landas dari kontiunitas epistem tafsir ma’tsur. Corak ini, oleh Goldziher, dikategorikan penafsiran afirmatif-teologis. Di mana nalar mulai bermain di wilayah teks Kalam Tuhan sebagai justifikasi kepentingan ideologinya. Sehingga bermunculan sekte-sekte Islam dengan menjadikan al-Qur’an sebagi legitimasi kebenaran, macam Muktazilah, Syiah, dan Ahli Sunnah. Pedebatan terbesar tentang teologi berputar pada diskursus idrâk al-ulûhiyah. Masing-masing sekte ngotot mengklaim kebenaran hingga kadang terjadi pertumpahan darah antar sekte. Jika dirunut jeli, sikap sektarianisme dan fanatisme ekstrim ini sejatinya ternyata berpulang pada satu muara; interpretasi al-Qur’an.
Selanjutnya, Goldziher menganjakan diri pada corak penafsiran tasawuf. Pada bagian ini, nampak terlihat kontras, bahwa corak tafsir yang diusung para mutashawwifin berbeda dengan era sebelumnya. Al-Qur’an, dalam konteks tasawuf, dijadikan pelambang mistik yang mendekatkan pada Tuhannya. Maka, (1) Posisi simbol-simbol sangat mempengaruhi dalam membentuk penafsiran mereka. (2) ‘Corak abstrak’ begitu mendominasi, yang menjadikan ciri khas menonjol dibanding ‘corak kongkrit’. (3) Realitas dalam pandangan sufistik menjadi sesuatu yang terabaikan, sebab hanya menjadi sekat pembatas untuk menemukan hakikat diri. Jadinya, (4) standar kebenaran tafsir terletak pada noktah simbol-simbol yang tersembul. Tak heran jika muncul terma Wihdah al-Wujûd, Insân Kâmil, Haqîqah al-Muhamadiyyah dan sebagainya yang dipopulerkan para maestro sufi-teosuf Ibnu Arabi, al-Jilly dan lainnya. Tampaknya ajaran neoplatonik begitu luar biasa mempengaruhi cara pandang tasawuf Islam. Jika oleh muafassirin al-Qur’an biasa didudukan sebagai objek tafsir justru oleh kaum sufi diposisikan sebagai subjek-nya. Karena perbedaan wilayah tafsir ini, wajar jika terjadi permusuhan abadi anatara kaum sufi dan mufassirin (termasuk di dalamnya fuqaha’. Sebab sewarna dalam penafsiran). Tokoh-tokoh sufi martir, al-Hallaj, Suhrawardi adalah korban dari puncak pertikaiaan mereka. Polemik dan hujat-menghujat pun biasa terjadi. Saking muaknya, bahkan Ibnu Arabi dalam Futuhât al-Makiyah mengeluh dan prihatin atas kebencian mendalam para ulama rusûm (baca: fuqaha’) yang menganggap kaum shufi dan fuqaha’ ibarat Fir’aun dan Para Rasul.
Chafter berikutnya Goldziher mencoba menarik jauh ke ranah publik; di mana al-Qur’an dijadikan sebagai alat tunggangan ideologi untuk membenarkan sikap politik masing-masing sekte. Seperti Syi’ah dan Khawârij. Sebagaimana yang terjadi pada peristiwa arbitrasi antar Ali RA. dan Muawiyah RA. Dikupas pula secara lebar corak teologi Syi’ah. Terutama kaitannya dengan keimanan atas Ali RA, sebagai ikon suci kedua setelah Nabi. Serta, tak kalah penting, penjelasan keengganan Syi’ah menggunakan Mushaf Utsmani yang dianggap tidak refresentatif mewakili mushaf mereka, akibat konon beberapa ayat/surat yang direduksi. Mushaf Ali RA., bagi mereka, lebih otoritatif sebagai mushaf resmi dibanding lainnya.
Yang menarik buku ini dipungkasi dengan pembaharuan dan perkembangan corak tafsir modern. Isu penting dalam buku itu adalah perkembangan Islam di era kebangkitan yang disebut sebagai pan Islamisme. Juga membidik wacana mutakhir tentang Islam dan benturan peradaban modern. Goldziher, dengan lincah dan cerdik, merekam aksi-reaksi isu terebut di beberapa negara Islam, seperti India yang digerakakn oleh Ahmad Khan dan Sayid Amir Ali; di mana lebih condong mengakomodir modernitas dengan ejawantah pembukaan kran kebebasan berpikir dan membuang jauh-jauh epos romantisme masa lalu. Begitu pun di Mesir, sosok Muhamad Abduh menjadi ikon pembaharu perdana yang menawarkan Islam dan peradaban sebagai kesatuan entitas yang tak terpishkan. Demi memulai proyeknya, ia berangkat dari elan vital tafsir klasik yang harus direstorasi total, dengan mempurifikasi dan mengembalikan pada ruh Islam awal; era di mana belum terjadi munculnya khilafiyah. Ia menilai kesalahan corak tafsir klasik adalah tidak menjadikan al-Qur’an sebagai sumber primer (rujukan awal) keagamaan. Malah dijadikan sumber sekunder dalam menjustifikasi kepentingan ijtihad sebuah mazhab dan atau kelompok tertentu. Hasilnya, melimpahnya karya tafsir yang beraroma teologis-politis, yang, secara substansial, nyaris seragam tapi, faktanya, tidak mengena sasaran. Tafsir al-Manar adalah salah satu karya yang digarap bersama muridnya Muhammad Rasyid Ridha. Sejatinya karya elaborasi itu merupakan hasil kuliah-kuliah Muhammad Abduh yang didokumentasikan dalam majalah al-Manar, yang kemudian dikodifikasikan menjadi proyek pribadi Ridha.
Membaca buku ini sangat mengasyikan dan menantang, seakan membaca karya-karya Dan Brown, sang novelis fenomenal, yang penuh liku misteri, intrik, dan banyak kejutan. Pembaca, pertama-tama, disuguhi cerita nonfiksi sebuah ‘epos kolosal’ lalu-lintas tafsir al-Qur’an; mulai sejarah pembentukan al-Qur’an, babak-babak awal periode penafsiran hingga jauh dilempar pada gerbang alam modern masa Abduh. Keistimewaan karya ini diolah dengan pendekatan taksonomis. Sehingga memudahkan menangkap setiap plot ragam tafsir. Lebih-lebih dibingkai secara runut-periodik. Ini, tentunya tidak menafikan bahwa Goldziher mau tak mau akan terjebak pada ‘pemangkasan paksa’ nalar tafsir yang terpinggirkan. Sudah barang tentu terdapat simplikasi, generalisasi. Ini mungkin bisa dimaklumi sebagai resiko yang tak bisa dihindari. Hanya saja, sayangnya, tak jarang Goldxiher menyusupkan anomali-anomali intelektual menyesatkan yang bisa saja membahayakan kredo (pembaca) umat Islam. Ini tentu erat kaitannya dengan kepentingan dan sentimen pribadi atas Islam. Namun demikian, seyogianya, umat Islam mesti banyak mengambil hikmah dari karya orientalis. Buku ini, misalnya, pantas dijadikan sebagai studi komparatif. Sebab keutamannya mengunakan pendekatan metodologi kritis-historis-filologis al-Qur’an yang langka digunakan kalangan Islam.
Membincang originalitas al-Qur’an bukan berarti menegasikan kebenaran dan ke-esa-an al-Qur’an yang ada sekarang. Sebab, alih-alih mengestimasikan bahwa rasm utsamani hanya memuat dan mewariskan satu varian bacaan, tentu tidak serta merta mushaf utsamni dianggap sebagai ‘produk gagal’ akibat hanya perkara biang kesalahan sistem kebijakan penguasa masa lalu. Dan, karenanya, dianggap tidak layak untuk dibaca (lagi). Hemat saya, ini merupakan satu penafsiran keliru dan sangat berbahaya. Sebab Nabi sendiri tidak pernah menyalahkan satu bacaan, dan (bahkan) mewajibkan pada spesifikasi satu bacaan tertentu. Harus diingat dan dicamkan, jika Nabi pernah memberikan lisensi satu kebijakan dalam sabda agungnya; “… bahwa seluruh bacaan, apapun varian bacaan itu, patut dibenarkan (kulluha shawâb)”. Singkatnya; bagaimanapun, al-Qur’an akan tetap mengandung aura terapeutik, sebuah pancaran keagungan dan kesalehan bagi pembacanya. Yang akan selalu mengalami pergerakan transformasi tafsir berkesinambungan sesuai putaran roda zaman. Jadi, sesekali, ia tidak akan dikerdilkan apalagi dipecundang-kan zaman. Umat Islam-lah ‘pemain’ sesungguhnya dibalik kidung makna al-Qur’an. Sebab tanpa ditafsirkan Kalam Tuhan itu niscaya menjadi tuna makna.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home